Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Chōsakai adalah sebuah badan lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang
pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar
Hirohito. Lembaga ini dibentuk sebagai
upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang
akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. Badan Penyelidikan Usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (
BPUPKI ) beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.)
Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase
Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.
Di luar anggota BPUPKI,
dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60
orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko
(orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, tata
pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang
membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai,
dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan
dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda,
terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang
asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.
Awal
persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
Kekalahan Jepang
dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan
akhir dalam perang Asia Timur Raya. Dengan cara itu, Jepang
berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada
tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang
di Jawa, Jenderal
Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang
bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang
dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia"
(BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai.
Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan
hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna
mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
BPUPKI resmi dibentuk
pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar
Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.)
Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk
menjadi ketua BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua),
yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase
Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkat sebagai kepala kantor tata
usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko
dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 67
orang, yang terdiri dari: 60 orang anggota aktif adalah tokoh utama
pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran,
serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan
militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang
ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka adalah pasif, yang artinya
mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).
Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu adalah sebagai berikut :
Sidang
resmi pertama
Pada tanggal 28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial
pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In",
yang pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila,
yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa
persidangan BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan baru dimulai
pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.
Upacara pelantikan dan
seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh
seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu:
Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki,
yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal
Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya
itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh
anggota BPUPKI.
Sebelumnya agenda sidang
diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara
Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"),
kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan
dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari
Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah
merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Guna mendapatkan rumusan
dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka agenda acara
dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah mendengarkan pidato dari
tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu adalah sebagai berikut :
1.
Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H.
berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri
Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
2.
Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato
mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Dasar
Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2.
Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3.
Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan
gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4.
Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Gagasan mengenai rumusan
lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", masih menurut beliau bilamana
diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila"
(Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3.
Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut
bila hendak diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila"
(Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”, ini adalah
merupakan upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep
gagasan mengenai rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada
dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu
dengan lainnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan
sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI
yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda
atau istirahat) selama satu bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses
persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang
dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep
para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.
Masa
antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua
Naskah Asli "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" yang dihasilkan oleh "Panitia
Sembilan" pada tanggal 22 Juni 1945
Sampai akhir dari masa
persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam
perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat,
sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna
menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan
oleh para anggota BPUPKI itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia
Sembilan" ini adalah sebagai berikut :
1.
Ir. Soekarno (ketua)
2.
Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3.
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4.
Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
5.
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
6.
Abdoel Kahar Moezakir
(anggota)
7.
Raden Abikusno Tjokrosoejoso
(anggota)
8.
Haji Agus Salim (anggota)
9.
Mr. Alexander Andries Maramis
(anggota)
Sesudah melakukan
perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak
"Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan"
kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut
juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua
"Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang
dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan
"Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar
negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
2.
Kemanusiaan yang adil
dan beradab,
4.
Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
Rancangan itu diterima
untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang
diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.
Di antara dua masa
persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang
dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri
oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan
(bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945",
yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua
(10 Juli-17 Juli 1945).
Sidang
resmi kedua
Masa persidangan BPUPKI
yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 14 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas
tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar,
ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada
persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam
panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain
adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar
(diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai
oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso),
dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).
Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar,
yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi
panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang
beranggotakan 7 orang yaitu sebagai berikut :
1.
Prof. Mr. Dr. Soepomo (ketua panitia kecil)
2.
Mr. KRMT Wongsonegoro (anggota)
3.
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4.
Mr. Alexander Andries Maramis
(anggota)
5.
Mr. Raden Panji
Singgih (anggota)
6.
Haji Agus Salim (anggota)
7.
Dr. Soekiman Wirjosandjojo
(anggota)
Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar,
yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia
kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang
beranggotakan 7 orang tersebut.
Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan
panitia Perancang Undang-Undang Dasar,
yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai
rancangan Undang-Undang Dasar yang
di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :
1.
Pernyataan tentang Indonesia Merdeka
2.
Pembukaan Undang-Undang Dasar
3.
Batang tubuh Undang-Undang Dasar yang
kemudian dinamakan sebagai "Undang-Undang Dasar 1945",
yang isinya meliputi :
·
Wilayah negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah
dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei
Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
·
Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
·
Bendera nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
·
Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.
Konsep proklamasi
kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun
dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir
seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus
berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam,
Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhirnya disetujui dengan
urutan dan redaksional yang sedikit berbeda.
Persiapan
kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI
Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah
dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi
negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya
"Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI")
atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai
dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
Tugas "PPKI"
ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Tugasnya yang kedua adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI, mempersiapkan
pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang
kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut
masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.
Anggota "PPKI"
sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari
berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa,
3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang
asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI"
ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota
"PPKI"
ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan
Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Secara simbolik "PPKI"
dilantik oleh Jendral Terauchi,
pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.)
Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh"
atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh
(dahulu bernama: Saigon), adalah kota
terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai
Mekong.
Pada saat "PPKI"
terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak.
Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua
golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki agar kemerdekaan
diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang
sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI".
Pada saat itu ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI"
ini adalah hanya merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan
militer Jepang. Di lain pihak "PPKI"
adalah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu
bagi terbentuknya suatu negara Indonesia baru.
Tetapi cepat atau
lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah
pendudukan militer Jepang adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja
dari "PPKI".
Jendral Terauchi
kemudian akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang
bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan
Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI".
Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI"
harus bekerja keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau
cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu akan
sebuah kehidupan kebangsaan yang bebas, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta Sementara itu dalam
sidang "PPKI"
pada tanggal 18 Agustus 1945,
dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas
lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim
serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran kebatinan, yang kemudian
diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh
kaum keagamaan yang beragama Islam guna dihapuskannya "tujuh
kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".
Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI"
dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas
lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai
"pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945",
yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45
adalah :
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab,
muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
·
Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
·
Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang
Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat
1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
·
Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29
ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan,
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi
berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
"PPKI"
sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kelompok muda kala itu hanya
menganggap "PPKI"
sebagai sebuah lembaga buatan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang,
namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta jasa badan ini sama sekali
tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Anggota "PPKI"
telah menjalankan tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya,
hingga pada akhirnya "PPKI"
dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.